SALATIGA,portallensa.com – Pada tanggal 10 Januari 2025, telah diajukan pengaduan dengan Nomor STTP/027/I/2025/SPKT mengenai dugaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan yang dilakukan oleh beberapa terlapor. Pengadu, yaitu Hari Sunarto, S.E., M.B.A., Ph.D., selaku pelapor, pada tanggal 7 Februari 2025 telah dimintai klarifikasi oleh Penyidik Polres Salatiga terkait pengaduan tersebut. Surat undangan klarifikasi yang diterima pelapor adalah No. B/65/I.RES.1.11/2025/Reskrim. Pelapor hadir dalam proses klarifikasi tersebut didampingi oleh Penasehat Hukumnya, Dr. Marthen H. Toelle, Bc.Hk., S.H., M.H.
Pelapor menyampaikan bahwa peristiwa yang menjadi latar belakang pengaduannya terjadi pada tanggal 18 Juni 2023, ketika ia diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan dan Tenaga Kerja Sejahtera (YPTKSW). Pada tanggal 7 Juli 2023, pelapor menerima pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp dari SBM (Yanti) yang memberitahukan bahwa ia telah menerima transfer uang sebesar Rp. 37.000.000,- yang disebut sebagai “uang tali asih” sebagai bentuk kompensasi setelah diberhentikan dari jabatan tersebut. Namun, pelapor merasa sangat keberatan atas transfer tersebut, karena ia menilai bahwa uang tersebut tidak sah dan bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Yayasan. Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 10 Juli 2023, pelapor mengembalikan uang tersebut ke Yayasan, karena merasa tidak berhak atas uang tersebut.
Lebih lanjut, pelapor mengungkapkan bahwa sebelumnya pada tahun 2023, dalam sebuah rapat koordinasi yang dihadiri oleh para terlapor, disepakati mengenai pemberian uang tali asih kepada Organ Yayasan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 Keputusan Pembina Yayasan No. 179/B/YSW/VII/2020. Dalam ketentuan tersebut, disebutkan bahwa besaran uang tali asih untuk setiap orang adalah Rp. 92.075.000,-. Namun, dalam rapat tersebut, pelapor secara kritis meminta agar keputusan tersebut untuk dikaji ulang, karena menurutnya pemberian uang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Yayasan yang mengatur mengenai larangan pemberian uang dalam bentuk tali asih yang berlebihan.
Pelapor kemudian menceritakan bahwa setelah diberhentikan dari jabatannya, para terlapor diduga telah melanjutkan niat jahat mereka dengan mewujudkan apa yang disebut oleh pelapor sebagai “niat jahat” untuk memanipulasi dan mengakali ketentuan hukum yang berlaku. Sejumlah uang yang awalnya disebut sebagai “uang tali asih” tersebut kemudian dimetaforakan atau diubah sebutannya menjadi beberapa istilah lain, antara lain “biaya pelepasan” dengan jumlah Rp. 36.830.000,- dan kemudian menjadi “biaya purna tugas pembina” sebesar Rp. 30.000.000,-. Uang tersebut dikatakan telah diterima oleh beberapa pihak seperti SAP, MS, MP, dan IS. Pelapor juga menduga bahwa masih ada pihak lain yang turut menerima uang tersebut, meskipun identitasnya belum diketahui dengan pasti.
Pelapor menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh para terlapor tersebut merupakan sebuah bentuk kejahatan intelektual yang sangat tinggi. Para terlapor disebut telah mensiasati dan melakukan upaya penyelundupan hukum untuk mengakali larangan-larangan yang diatur dalam Undang-Undang Yayasan, demi kepentingan pribadi mereka. Dalam pandangan pelapor, tindakan ini tidak hanya merugikan Yayasan dan pihak-pihak terkait, tetapi juga menunjukkan adanya upaya sistematis untuk memanfaatkan jabatan demi keuntungan pribadi yang tidak sah. Oleh karena itu, pelapor menggambarkan perbuatan para terlapor sebagai “kejahatan berkerah putih”, yang menggambarkan sifat dari tindak pidana ini yang dilakukan oleh individu-individu yang memiliki latar belakang intelektual dan menyembunyikan niat buruk mereka dengan cara yang cerdas dan licik.
Dengan demikian, pelapor berharap agar pihak berwajib dapat melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap dugaan tindak pidana yang melibatkan para terlapor, serta memastikan agar peraturan yang mengatur Yayasan dijalankan dengan benar dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Pelapor berharap agar keadilan dapat ditegakkan, sehingga tidak ada pihak yang merugikan dengan cara-cara yang melanggar hukum dan etika yang ada.
.”Menyimak pengaturan para terlapor tentang fasilitas kinerja bagi organ Yayasan : ada honorarium, Tunjangan Hari Natal, tunjangan perumahan, asuransi, tunjangan komunikasi, uang rapat per hari, akomodasi, snack dan makan, uang rapat berbasis daring, biaya perjalanan dinas, uang apresiasi akhir tahun, tali asih sebesar 5 x honorarium Ketua Pengurus, tali asih bagi keluarga (istri/suami/anak yang meninggal dan/atau menikah, penghargaan bagi Tim Kerja/Satuan Kerja.”Marthen H Toelle, menilai aturan fasiltas dan macam-macam fasiltas diatas merupakan upaya perampokan atas keuangan YPTKSW yang hanya diperoleh dari Uang Kuliah para Orang Tua mahasiswa, merupakan kebejatan moral para terlapor (?) Yayasan Pendidikan dan Tenaga Kerja Sejahtera (YPTKSW seharusnya Yayasan Perguruan Tinggi Kristen Satya Wacana bukan Yayasan Perguruan dan Tenaga Kerja Sejahtera.
Dalam memimpin organisasi“Kristen” Dengan nama “Satya wacana”, yang bermakna “ SETYA KEPADA FIRMAN TUHAN” TELAH BERMETAFORA MENJADI “ SETYA KEPADA MAMON”. ( * )